Kembalikan Martabat Bahasa Tegal
05.11 Edit This 1 Comment »Di layar televisi kita mudah menjumpai figur publik, terutama artis yang memakai bahasa Tegal untuk berkomunikasi. Nama seperti Parto Patrio, Cici Tegal, dan Eman adalah artis yang lekat dengan dialek itu. Padahal, mereka bukan orang Tegal asli. Mereka hanya numpang karakter lewat dialek Tegal sebagai alat melucunya. Seringnya penggunaan bahasa Tegal sebagai alat melawak, membuat banyak orang mencitrakan Tegal sebagai bahasa yang lucu. Padahal, sebagaimana bahasa daerah yang lain, bahasa Tegal, atau sejumlah orang menyebutkan sebagai bahasa Jawa dialek Tegal, juga merupakan bahasa yang "serius". Ia merupakan pencerminan karakter orang Tegal dan sekitarnya yang juga berkecenderungan serius. "Orang selama ini kurang proporsional dalam menempatkan bahasa Tegal. Mereka memandang bahasa ini hanya untuk lawakan. Padahal, bahasa Tegal juga merupakan sarana komunikasi sosial yang serius bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya," papar ahli bahasa Tegalan, Mochamad Hadi Utomo, pekan lalu di Tegal. Dalam tipologi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah, bahasa Tegal hanya dianggap sebagai subkultur dari bahasa Jawa. Pandangan itu sudah bertahan ratusan tahun. Bahasa Tegal ditempatkan sebagai bahasa kelas dua dibanding bahasa Jawa yang berkiblat kepada budaya Surakarta dan Yogyakarta. Pandangan itu muncul karena proses sejarah sosial dan politik di Jawa yang cenderung didominasi wong wetanan atau orang timur yang berasal dari wilayah Mataraman. Sejak zaman Mataram Islam, hampir semua pemimpin atau penguasa di wilayah Tegal berasal dari priayi wetanan atau kaum bangsawan dari Timur, terutama dari Surakarta dan Yogyakarta. Menurut Hadi Utomo, priayi wetanan itu cenderung membawa budaya dan dialek kejawaannya dalam berkomunikasi kepada masyarakat dan birokrasinya. Ini membuat secara politik posisi bahasa dan dialek Jawa di wilayah Tegal dan sekitarnya lebih elite dan dianggap lebih luhur dibandingkan dengan dialek Tegal. Birokrat dan punggawa kadipaten ikut-ikutan memakai dialek Jawa. "Bahasa Tegal pun hanya dikenal untuk masyarakat kelas bawah. Akibatnya, orang Tegal mau berbicara dengan bahasa Tegal cenderung rendah diri, terutama jika sudah ke luar daerah," paparnya. Mulai zaman kerajaan Mataram, penjajahan Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru, kata Hadi, kepala daerah di wilayah Tegal dan sekitarnya selalu berasal dari priayi wetanan. Baru pada era reformasi muncul pemimpin dari putra daerah, yaitu Bupati Agus Riyanto, yang kini masih menjabat. Dominasi sosial politik dari budaya Jawa dan citra sebagai bahasa lawakan ini membuat masyarakat Tegal kurang percaya diri dengan ketegalannya. Tak pelak, bila pengembangan bahasa Tegal pun sangat sulit. Unit keluarga saat ini banyak yang memilih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Padahal, dilihat dari sejarahnya, kata Hadi Utomo, bahasa Tegal berusia lebih tua daripada bahasa Jawa. Inti bahasa Tegal adalah bahasa Jawa Kuna. Dalam proses sejarah, bahasa Jawa Kuna yang berkembang di Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan itu bertemu dengan bahasa lain mulai dari Sunda, Cirebon, Jawa, Madura, Arab, China, bahkan Belanda. Tak heran bila beberapa kosakata bahasa Tegal ada yang mirip bahasa Belanda, misalnya kata maju yang dalam bahasa Tegalnya poret. Poret berasal dari kata Belanda, yaitu voor uit. Ada pula kata brug yang berarti ’jembatan’. Istilah brug berasal dari bahasa Belanda yang juga berarti ’jembatan’. "Orang Tegal menyebut pacar itu gerel. Ini berasal dari kata girl dalam bahasa Inggris. Kata ciu, misalnya, yang berasal dari bahasa China," ungkapnya. Sastra Pengembangan sastra Tegal pun tersendat. Hingga kini belum ada karya sastra bernuansa Tegal yang tumbuh dengan solid. Kondisi seperti ini dipahami seniman setempat. Mulai tahun 1994, seniman muda Tegal dan sekitarnya, termasuk Brebes dan Pemalang, mulai mencoba mengembangkan karya sastra Tegalan, salah satunya yang sudah dirintis adalah puisi Tegalan. "Memang belum ada konsep mengenai puisi Tegalan ini. Dalam sejarahnya pun, puisi Tegalan tidak pernah menjadi tradisi. Tetapi yang pasti, puisi Tegalan adalah puisi yang menggunakan bahasa Tegal. Tujuan kami mengembangkannya adalah agar bahasa Tegal lebih dihargai, dan bukan hanya dianggap sebagai bahasa lawakan," papar pelopor sastra Tegalan Lanang Setiyawan. Lanang bersama sejumlah seniman asal Tegal membentuk Komunitas Sastra Tegalan. Selain mencipta puisi Tegalan, komunitas ini juga mengembangkan seni gerak, baik dalam bentuk fragmen maupun teater. Khusus untuk puisi Tegalan, beberapa kali Lanang dan kawan-kawan menciptakan puisi dengan menerjemahkan puisi sastrawan terkenal ke dalam bahasa Tegal, salah satunya adalah puisi terkenal WS Rendra berjudul Nyanyian Angsa yang diganti menjadi Tembangan Banyak. Puisi ini merupakan tonggak kali pertama puisi Tegalan dikenal masyarakat. Sejak tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Tegal mulai memahami pentingnya pengembangan sastra Jawa bagi pemberdayaan bahasa Tegal. Berbagai kegiatan kesastraan Tegal digelar pemkab dengan melibatkan berbagai kalangan, terutama seniman. "Sastra Tegalan ini selain cukup penting untuk nguri-uri budaya Tegal, juga penting untuk menyatukan masyarakat Tegal dan komunitas yang memakai bahasa ini," ujar Agus. Namun, untuk mengangkat martabat bahasa Tegal lewat karya sastra tidaklah mudah. Apresiasi masyarakat Tegal masih rendah karena mereka tak terbiasa dengan karya sastra dalam dialek setempat. Persoalan lain, kata Lanang, adalah tidak diajarkannya bahasa Tegal secara formal dalam proses belajar mengajar di sekolah. Masyarakat pengguna bahasa Tegal yang ada di Tegal, Brebes, Pemalang, hingga Pekalongan dianggap sebagai masyarakat Jawa. Akibatnya, pengajaran bahasa daerah untuk siswa di daerah itu memakai bahasa Jawa. "Padahal, berbeda sekali kondisi yang sebenarnya. Dalam keseharian, masyarakat sini masih memakai bahasa Tegal, bukan bahasa Jawa. Mereka tidak tahu persis bahasa Jawa. Pemerintah harus memahami ini," ujar Lanang.
1 komentar:
gk tau knapa pas search almamater sma ku,,kok malah nyasar disini..
Posting Komentar